Sampan sebagai sarana transportasi utama, 2011. |
Desa Kuala Dua Belas secara administratif masuk kedalam
wilayah kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (Saat ini sedang
dalam persiapan pemekaran menjadi Kabupaten Kawasan Timur). Desa ini mempunyai
4 dusun sebagai Satuan Lingkungan Setempat. Dipimpin oleh seorang kepala desa
dan sekretaris desa dari dua dusun yang berbeda. “Supaya adil”, ungkap salah
seorang Mantri yang kami jumpai sore itu.
Memang jarak antara Dusun Satu dan dusun Dua berdekatan, hanya dipisahkan oleh hulu sungai selebar 150 meter. Dua Dusun lainnya masih jauh lagi kedalam. “Perjalanan ke dusun Tiga bisa menghabiskan waktu sekitar 40 menit, sedangkan dusun Empat masuk lebih kedalam lagi”, sang Mantri mencoba meyakinkan kepada kami. Kami percaya bahwa letak kedua dusun yang dimaksud memang jauh, karena sebelumnya sudah kami lihat didalam peta.
Untuk bisa mencapai ke desa Kuala Dua Belas, kami menyewa Speedboat dari dermaga di desa Tulung Selapan Ilir, yang juga merupakan ibukota kecamatan. Ongkosnya Rp130.000 per orang dengan waktu perjalanan normal 4 jam.
Selama perjalanan, kita akan menjumpai tumbuhan rawa, pohon sagu, dan kalau beruntung dapat melihat burung-burung endemik, seperti: Bangau atau Elang. Kami begitu menikmati perjalanannya. Pengalaman selama perjalanan seaka-akan menjadi sepadan dengan besarnya ongkos perjalanan yang dikeluarkan.
Kendati jarak desa ke pusat kecamatan sejauh 126 km. Namun toh, jarak bukanlah masalah dan menjadi hambatan. Orang-orang yang tinggal di desa Kuala Dua Belas, desa Simpang Tiga, Sungai Lumpur maupun Rantau Lurus sudah terbiasa dengan segala keterbatasan. Baik keterbatasan jaringan informasi, keterbatasan suplai listrik, keterbatasan air bersih, keterbatasan sandang/pangan maupun transportasi.
Di desa Kuala Dua Belas misalnya, ada sebuah mesin diesel kapasitas besar sebagai sumber utama penerangan. Mesin diesel tersebut milik seorang saudagar kaya yang berasal dari desa ini. Usia mesin diesel tersebut memang sudah tua, akan tetapi masih berfungsi baik dan mampu memberikan penerangan kepada sekitar 600 rumah tangga yang tersebar di 2 dusun.
Dalam operasinya, mesin ini menghabiskan bensin sebanyak 200 liter setiap harinya. Listrik mulai dialirkan ke rumah-rumah pelanggan jam 18.00 sore hingga jam 01.00 malam. Dan semuanya itu hanya ditangani oleh seorang penjaga, kebetulan anak mantu kepala desa.
Mereka yang memakai aliran listrik dikenakan biaya sebesar Rp80.000 dan harus dibayar setiap minggunya. “Bagi yang terlambat membayar, kami tidak memberikan denda apalagi sampai memutuskan aliran”, jelas seorang Penjaga yang dipercaya oleh pemilik untuk menjaga dan mengurus mesin diesel tersebut.”Yang punya mesin diesel ini kan orang kampung sini, dan bapak juga tidak mau ambil untung besar,” jawab si Penjaga ketika kami tanyakan ongkos perawatannya.
Memang jarak antara Dusun Satu dan dusun Dua berdekatan, hanya dipisahkan oleh hulu sungai selebar 150 meter. Dua Dusun lainnya masih jauh lagi kedalam. “Perjalanan ke dusun Tiga bisa menghabiskan waktu sekitar 40 menit, sedangkan dusun Empat masuk lebih kedalam lagi”, sang Mantri mencoba meyakinkan kepada kami. Kami percaya bahwa letak kedua dusun yang dimaksud memang jauh, karena sebelumnya sudah kami lihat didalam peta.
Untuk bisa mencapai ke desa Kuala Dua Belas, kami menyewa Speedboat dari dermaga di desa Tulung Selapan Ilir, yang juga merupakan ibukota kecamatan. Ongkosnya Rp130.000 per orang dengan waktu perjalanan normal 4 jam.
Selama perjalanan, kita akan menjumpai tumbuhan rawa, pohon sagu, dan kalau beruntung dapat melihat burung-burung endemik, seperti: Bangau atau Elang. Kami begitu menikmati perjalanannya. Pengalaman selama perjalanan seaka-akan menjadi sepadan dengan besarnya ongkos perjalanan yang dikeluarkan.
Kendati jarak desa ke pusat kecamatan sejauh 126 km. Namun toh, jarak bukanlah masalah dan menjadi hambatan. Orang-orang yang tinggal di desa Kuala Dua Belas, desa Simpang Tiga, Sungai Lumpur maupun Rantau Lurus sudah terbiasa dengan segala keterbatasan. Baik keterbatasan jaringan informasi, keterbatasan suplai listrik, keterbatasan air bersih, keterbatasan sandang/pangan maupun transportasi.
Di desa Kuala Dua Belas misalnya, ada sebuah mesin diesel kapasitas besar sebagai sumber utama penerangan. Mesin diesel tersebut milik seorang saudagar kaya yang berasal dari desa ini. Usia mesin diesel tersebut memang sudah tua, akan tetapi masih berfungsi baik dan mampu memberikan penerangan kepada sekitar 600 rumah tangga yang tersebar di 2 dusun.
Dalam operasinya, mesin ini menghabiskan bensin sebanyak 200 liter setiap harinya. Listrik mulai dialirkan ke rumah-rumah pelanggan jam 18.00 sore hingga jam 01.00 malam. Dan semuanya itu hanya ditangani oleh seorang penjaga, kebetulan anak mantu kepala desa.
Mereka yang memakai aliran listrik dikenakan biaya sebesar Rp80.000 dan harus dibayar setiap minggunya. “Bagi yang terlambat membayar, kami tidak memberikan denda apalagi sampai memutuskan aliran”, jelas seorang Penjaga yang dipercaya oleh pemilik untuk menjaga dan mengurus mesin diesel tersebut.”Yang punya mesin diesel ini kan orang kampung sini, dan bapak juga tidak mau ambil untung besar,” jawab si Penjaga ketika kami tanyakan ongkos perawatannya.
Jaringan telepon seluler hanya satu yang dapat masuk ke desa
ini, yaitu jaringan XL. Itupun hanya dibeberapa tempat didalam rumah yang dapat
menangkap sinyalnya. Kalau ingin lebih jelas sinyalnya, cuma satu tempatnya,
yakni dibelakang perumahan penduduk, didekat rawa-rawa berair payau yang diubah
menjadi tambak ikan dan udang. Bahkan dibangun pula podium setinggi 2 meter
yang terbuat dari beberapa bilah papan kayu.
Hujan adalah berkah yang terindah bagi penduduk desa Kuala Dua Belas. Hujan menjadi sesuatu yang sangat berarti sekali bagi mereka. Karena Air bersih tidak ada disini. Kondisi alam yang berawa tidak memungkin bagi mereka untuk menggali sumur. Sementara air sungai warnanya begitu coklat dan berasa payau. Maka tak heran jika penduduk sangat mengandalkan air hujan. Setiap hujan, airnya mereka tampung didalam drum plastik yang berukuran besar setinggi 2 meter. Air hujan mereka gunakan untuk mandi, mencuci hingga memasak.
Penduduk yang tinggal didesa ini tidak perlu pergi ke pasar untuk berbelanja. Hari Kamis adalah hari pasar bagi mereka. Pedagang dari Tulung Selapan selalu datang tepat waktu dengan perahu besar penuh rempah-rempah, sayuran, buah-buahan, unggas, air mineral, pakaian hingga barang alat-alat rumah tangga.
Hujan adalah berkah yang terindah bagi penduduk desa Kuala Dua Belas. Hujan menjadi sesuatu yang sangat berarti sekali bagi mereka. Karena Air bersih tidak ada disini. Kondisi alam yang berawa tidak memungkin bagi mereka untuk menggali sumur. Sementara air sungai warnanya begitu coklat dan berasa payau. Maka tak heran jika penduduk sangat mengandalkan air hujan. Setiap hujan, airnya mereka tampung didalam drum plastik yang berukuran besar setinggi 2 meter. Air hujan mereka gunakan untuk mandi, mencuci hingga memasak.
Penduduk yang tinggal didesa ini tidak perlu pergi ke pasar untuk berbelanja. Hari Kamis adalah hari pasar bagi mereka. Pedagang dari Tulung Selapan selalu datang tepat waktu dengan perahu besar penuh rempah-rempah, sayuran, buah-buahan, unggas, air mineral, pakaian hingga barang alat-alat rumah tangga.
Sejarah Kampung
Dari seorang Mantri desa, kami dapatkan informasi tentang
awal mulanya berdiri desa Kuala Dua Belas, terutama tentang apa yang
melatarbelakangi kedatangan orang Bugis. Menurutnya, ketika terjadi pemberontakan
Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan tahun 1952, banyak orang Bugis yang melakukan
eksodus untuk menyelamatkan diri. Mereka yang eksodus adalah yang tidak
menyetujui perjuangan Kahar Muzakar untuk mendirikan Negara Islam dan Hukum
Islam di negeri mereka.
Selain itu, mereka juga takut dengan intimidasi dari para pengikut perjuangan Kahar Muzakar. “Mereka yang menolak bisa dibunuh mas”, tutur sang Mantri desa dengan mimik meyakinkan. Entah mengapa, akhirnya para eksodus yang berasal dari suku Bugis itu sampai terdampar di tempat ini.
Selain itu, mereka juga takut dengan intimidasi dari para pengikut perjuangan Kahar Muzakar. “Mereka yang menolak bisa dibunuh mas”, tutur sang Mantri desa dengan mimik meyakinkan. Entah mengapa, akhirnya para eksodus yang berasal dari suku Bugis itu sampai terdampar di tempat ini.
Menurut ceritanya, dahulu daerah rawa ini masih rapat dengan
pohon-pohon besar. Dari pohon-pohon itu pula, orang-orang Bugis mulai membangun
rumah. Keberadaan pohon-pohon besar ini, menarik perhatian para pengusaha kayu
untuk menebang dan kemudian menjualnya. Kegiatan menebang kayu berlangsung
sampai sekitar tahun 1988. Hingga akhirnya, sudah hampir tidak ada lagi pohon
besar yang mereka tebang, lalu mereka pergi. Orang-orang Bugispun menyadari
itu. Di tahun itu, banyak dari mereka yang kemudian kembali pulang ke kampung
halamannya.
Namun, atas bujukan salah seorang yang di-tuakan, mereka kembali datang dan mulai membangun perkampungan kecil pada tahun 1995. Mereka tidak menebang lagi melainkan membuka usaha tambak ikan. Pembukaan tambak ikan dijadikan sebagai lapangan pekerjaan baru. Seiring dengan berjalannya waktu, usahanya ini mampu mensejahterahkan kehidupan masyarakat setempat. Hingga usaha itu, kini diteruskan oleh anak-anak mereka.
Salah satu bentuk usaha lain yang begitu menjanjikan adalah usaha sarang walet. Saat ini, usaha sarang burung walet menjadi primadona masyarakat desa yang tinggal di pesisir Tulung Selapan. Betapa tidak, harga satu kilo sarang burung walet bisa mencapai 20 juta. Tidaklah mengherankan jika kita mendapati kaum perempuan disana banyak yang mengenakan emas hingga beruntai-untai dileher dan pergelangan tangan.
Kesejahteraan memang milik orang-orang yang rajin, ulet dan suka bekerja keras. Seperti apa yang terjadi di sebuah desa terpencil, yakni desa Kuala Dua Belas. Dari hanya sebuah desa terpencil, kini menjadi maju secara ekonomi. Hanya satu yang menjadi keluhan mereka, yakni status desa yang masih definitiv, sehingga mereka tidak dapat memiliki tanah dan usaha tambak yang syah dimata hukum Indonesia.
Semoga rangkaian foto-foto berikut dapat membantu menyelami kehidupan orang-orang desa Tulung Selapan.
Namun, atas bujukan salah seorang yang di-tuakan, mereka kembali datang dan mulai membangun perkampungan kecil pada tahun 1995. Mereka tidak menebang lagi melainkan membuka usaha tambak ikan. Pembukaan tambak ikan dijadikan sebagai lapangan pekerjaan baru. Seiring dengan berjalannya waktu, usahanya ini mampu mensejahterahkan kehidupan masyarakat setempat. Hingga usaha itu, kini diteruskan oleh anak-anak mereka.
Salah satu bentuk usaha lain yang begitu menjanjikan adalah usaha sarang walet. Saat ini, usaha sarang burung walet menjadi primadona masyarakat desa yang tinggal di pesisir Tulung Selapan. Betapa tidak, harga satu kilo sarang burung walet bisa mencapai 20 juta. Tidaklah mengherankan jika kita mendapati kaum perempuan disana banyak yang mengenakan emas hingga beruntai-untai dileher dan pergelangan tangan.
Kesejahteraan memang milik orang-orang yang rajin, ulet dan suka bekerja keras. Seperti apa yang terjadi di sebuah desa terpencil, yakni desa Kuala Dua Belas. Dari hanya sebuah desa terpencil, kini menjadi maju secara ekonomi. Hanya satu yang menjadi keluhan mereka, yakni status desa yang masih definitiv, sehingga mereka tidak dapat memiliki tanah dan usaha tambak yang syah dimata hukum Indonesia.
Semoga rangkaian foto-foto berikut dapat membantu menyelami kehidupan orang-orang desa Tulung Selapan.