Aufklärung adalah
suatu pergerakan intelektual abad ke-18, yang berasal dari Eropa Barat (Inggris
dan Perancis). Simbol Aufklärung adalah
matahari terbit, matahari yang bersinar dan menyinari seluruhya. Metafora dari
cahaya ini bermakna Akal Budi.
Di Perancis akar dari Aufklärung berasal dari Rene Descartes (1596-1650), pernyataannya
“Cogito, ergo sum” (Ich denke, also bin Ich) memulai percobaan
analisa Pemikiran Murni. Baginya, Akal Budi menjadi instrumen pengetahuan yang
paling penting (Rasionalisme). Pada zaman ini Ilmu Pengetahuan terpisah dari
ikatannya dengan Religi.
Dari Inggris datang ajaran
Empirismus, menggantikan dari seluruh ajaran John Locke (1632-1704). Baginya,
sumber pemikiran dan pengetahuan bukanlah Akal Budi, melainkan persepsi Pikiran
dan Pengalaman. Pandangan ini kemudian dibangkitkan lagi oleh David Hume
(1711-1776), ia mengatakan bahwa kesadaran manusia diperoleh melalui Assosiasi
dan Pengalaman.
Di Jerman G.W Leibniz (1646-1716)
dipandang sebagai pelopor Aufklärung. Ajaran
monade-monadenya menekankan pentingnya seluruh lapisan tingkatan dari
kumpulan-kumpulan sel terkecil sampai akhirnya kepada sang Ilahi. Setiap lapisan
(Monade) meminggal “seluruh kemungkinan terbaik Dunia”, dari Peralihan hingga ke dalam
monade tertinggi berikutnya.
Christian Wolff (1679-1754)
menciptakan sistem filsafatnya (Konstruksi dari Aufklärung
Perancis dan Inggris): “Apakah logis menyimpulkan, Akal
Budi, akan baik secara Moral". Kesusastraan dan Filsafat tidak berdiri di
dalam Aufklärung – seperti di zaman Barock – dalam hubungannya
dengan Musik, Tulisan, atau Arsitektur. Kesusastraan Aufklärung
mencetak tentang upaya-upaya pedagogis. Pelajaran tentang peristiwa-peristiwa
dan Akal Budi menjadi sebagai pandangan yang paling penting. Bagi Wolff,
kebahagiaan menjadi tujuan manusia pada setiap Handlung.
Menurut Gottsched (1700-1766), Kesusastraan Aufklärung di Jerman berasal dari Alam Tiruan, yang pada abad ke-18 pemain drama dan perkembangan teori drama memainkan peranan besar. Gottsched memperhatikan Drama 'Kekasih' Perancis di dalam "Versache einen Christischen Dichtkunst" sebagai contoh teladan, melalui terjemahannya itu, ia ingin memperkenalkan kepada publik di Jerman. Gottsched mengangkat tuntutan tentang 3 kesatuan (Handlung, Tempat dan Waktu). Ia menuntut di dalam Fabel sebagai inti drama. Penampilan karakter personen di dalam drama juga penting. Karena penciptaan karakter di dalam Handlung ditentukan oleh karakter utama.
Sumber :
- Baumann – Oberle. 1985. Deutsche Literatur in Epochen. Munchen: Max Hueber Verlag.
- Ruttkowski, et.al. 1974. Das Studium der Deutschend Literatur. Philadelphia: National Carl Scruz Association.