Siapapun orang dapat melakukan penghijauan. Penghijauan
dapat dimaknai sebuah aksi sederhana dengan menciptakan atau mengalih-fungsikan
sebidang tanah tadinya tidak berfungsi menjadi sebidang lahan yang mempunyai
fungsi ekonomis.
Pada jaman sekarang, aksi sederhana tersebut dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat hingga perusahaan property terhadap komunitas ciptaannya. Masyarakat pedesaan biasanya menanami lahan pekarangan rumah yang kosong dengan pohon buah atau tanaman palawija yang diharapkan dapat mempunyai nilai ekonomis nantinya. Pohon buah yang ditanam akan menghasilkan buah, begitupun dengan tanaman palawija yang menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi. Bahkan bila hasilnya lebih masyarakat sekitar merasakan pula manfaatnya. Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan, kini ramai ditiru oleh masyarakat kota, baik mereka yang tinggal di kompleks ataupun yang tinggal diluar kompleks. Dapat kita lihat misalnya saja areal kompleks perumahan milik property ternama, akan tampak oleh kita betapa pemanfaatan ruang kosong yang disulap menjadi sebuah ruang hijau. Mulai dari jalan masuk utama hingga sudut-sudut di dalamnya ditanami dengan pepohonan, walaupun hanya jenis pepohonan bunga. Begitulah pemahaman masyarakat desa dan masyarakat kota abad ini dalam mendefinisikan sebuah kata: Penghijauan.
Pada jaman sekarang, aksi sederhana tersebut dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat hingga perusahaan property terhadap komunitas ciptaannya. Masyarakat pedesaan biasanya menanami lahan pekarangan rumah yang kosong dengan pohon buah atau tanaman palawija yang diharapkan dapat mempunyai nilai ekonomis nantinya. Pohon buah yang ditanam akan menghasilkan buah, begitupun dengan tanaman palawija yang menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi. Bahkan bila hasilnya lebih masyarakat sekitar merasakan pula manfaatnya. Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan, kini ramai ditiru oleh masyarakat kota, baik mereka yang tinggal di kompleks ataupun yang tinggal diluar kompleks. Dapat kita lihat misalnya saja areal kompleks perumahan milik property ternama, akan tampak oleh kita betapa pemanfaatan ruang kosong yang disulap menjadi sebuah ruang hijau. Mulai dari jalan masuk utama hingga sudut-sudut di dalamnya ditanami dengan pepohonan, walaupun hanya jenis pepohonan bunga. Begitulah pemahaman masyarakat desa dan masyarakat kota abad ini dalam mendefinisikan sebuah kata: Penghijauan.
Pada catatan ini, saya tidak ingin bertutur tentang aksi
penghijauan pada kedua tipe masyarakat dimuka. Namun yang menjadi perhatian dan
membuat saya bergairah untuk menuturkan kembali adalah bagaimana kisah
perjuangan seorang biarawati yang tinggal diwilayah terkenal sebagai lokasi
hutan tropis terbesar kedua di dunia setelah hutan Amazon, melakukan aksi
penghijauannya secara mandiri. Kisah heroik ini saya baca di kolom Sosok koran
Kompas tanggal 26 April 2014. Siapa sosok manusia tersebut? Sosok itu bernama
Elisabethine, perempuan tangguh asal Nusa Tenggara Tengah yang telah menetap di
Kalimantan Tengah sejak tahun 1989. Elisabethine adalah salah satu Suster di
Biara Beata Maria Helena (Wilayah kerja Kongregasi Abdi Roh Kudus) yang berada
di Desa Telok Kecamatan Katingan Tengah. Lokasi tempatnya mengabdikan diri
dekat dengan sungai Katingan yang lebar. Sungai-sungai di pedalaman Kalimantan
memang dikenal lebar-labar, hingga seringkali dijadikan sarana lintasan
pengiriman kayu sebagai strategi perusahaan pengolahan kayu demi menekan ongkos
produksi tentunya. Salah satu sungai yang dijadikan sarana lintasan gelondongan
adalah sungai Katingan. Hampir setiap hari Suster Elisabethine melihat
gelondongan kayu yang diseret kapal kelotok melintasi sungai. Pemandangan
tersebut telah membuatnya sedih, prihatin dan mulai berpikir serta mencari
jawab bagaimana kiranya melawan aksi penebangan pohon-pohon tropis seperti itu.
Sebagai seorang biarawati, tidak mungkin baginya untuk melawan secara frontal
dengan mengajak serta komunitasnya dan masyarakat dampingannya. Tindakan yang
menurutnya mungkin dilakukan dan tidak membahayakan dirinya serta komunitasnya
adalah dengan aksi reboisasi atau aksi penghijauan.
Pulau Kalimantan sudah sejak lama diketahui sebagai daratan
yang banyak menghasilkan kayu benuas, meranti, bengkirai, gaharu dan ulin yang
tumbuhnya membutuhkan ratusan tahun. Ketika memulai aksi penghijauannya,
Elisabethine mesti mencari bibit-bibit tanaman tersebut. Pencarian bibit
buah-buah ulin, bibit gaharu, dan bibit agatis dilakukan pada kurun waktu 2001
sampai 2004. Dikerjakan bersamaan ketika dirinya melakukan pendampingan kepada
umat Katolik yang tinggal di daerah hulu Sungai Katingan. Dengan menumpang
kapal kelotok, melewati jeram berarus deras dan berbatu, dan berjalan kaki
hingga sejauh 7-10 kilometer, semuanya itu dia rela hati melakukannya hanya
demi mendapatkan bibit. Ongkos menumpang kapal kelotok tidak murah. Berkisar Rp
50.000-Rp 350.000. Besar tidaknya ongkos tergantung dari jauh dekat tempat yang
akan dituju. Melihat panjangnya rute perjalanan, tidak jarang dia mesti
menginap di tepi sungai untuk menunggu kapal kelotok lewat.
Tidak ada pekerjaan mulia yang dilakukan dengan ikhlas hati
menjadi sia-sia dan terabaikan. Upah dari segala upayanya kini berwujudkan
hasil. Dari 20 biji ulin yang ditanamnya, sekarang sudah tumbuh 15 pohon.
Sementara dari 10 bibit benuas yang dia tanam, sudah ada 2 pohon yang tumbuh
dengan diameter sekitar 20 sentimeter. Sedangkan dari 50 bibit pohon gaharu
yang disemainya, kini sudah ada 40 pohon yang tumbuh. Dari ketiga jenis pohon
yang dihasilkan, hanya pohon gaharu yang dia mulai kembangkan lewat menanam di
polybag. Baginya, bibit pohon gaharu yang memiliki nilai ekonomis dalam tempo
waktu yang tidak terlalu panjang bila dibandingkan dengan bibit pohon lainnya.
Harga dari pohon gaharu per kilogramnya berkisar Rp 100.000-Rp 700.000. Adapun
karas atau galihnya bisa mencapai Rp 30 juta per kilogram, dan minyaknya bahkan
lebih tinggi lagi yaitu sekitar Rp 300 juta per liter. Pantas bila minyak
gaharu bernilai tinggi, karena minyak yang dihasilkan dari kayu gaharu biasanya
digunakan sebagai bahan parfum dan obat-obatan.
“Pohon gaharu dapat menjadi pilihan alternative yang lebih
baik daripada sawit. Setelah berumur sekitar enam tahun dan menerima suntikan
atau inokulasi, gaharu sudah dapat dipanen,” begitu penuturannya kepada
Megandika Wicaksono, seorang pewarta Kompas.