Suster Elisabethine, Melawan Sawit Dengan Gaharu

Siapapun orang dapat melakukan penghijauan. Penghijauan dapat dimaknai sebuah aksi sederhana dengan menciptakan atau mengalih-fungsikan sebidang tanah tadinya tidak berfungsi menjadi sebidang lahan yang mempunyai fungsi ekonomis.
Pada jaman sekarang, aksi sederhana tersebut dilakukan oleh individu-individu sebagai anggota masyarakat hingga perusahaan property terhadap komunitas ciptaannya. Masyarakat pedesaan biasanya menanami lahan pekarangan rumah yang kosong dengan pohon buah atau tanaman palawija yang diharapkan dapat mempunyai nilai ekonomis nantinya. Pohon buah yang ditanam akan menghasilkan buah, begitupun dengan tanaman palawija yang menghasilkan sesuatu untuk dikonsumsi. Bahkan bila hasilnya lebih masyarakat sekitar merasakan pula manfaatnya.  Kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan, kini ramai ditiru oleh masyarakat kota, baik mereka yang tinggal di kompleks ataupun yang tinggal diluar kompleks. Dapat kita lihat misalnya saja areal kompleks perumahan milik property ternama, akan tampak oleh kita betapa pemanfaatan ruang kosong yang disulap menjadi sebuah ruang hijau. Mulai dari jalan masuk utama hingga sudut-sudut di dalamnya ditanami dengan pepohonan, walaupun hanya jenis pepohonan bunga. Begitulah pemahaman masyarakat desa dan masyarakat kota abad ini dalam mendefinisikan sebuah kata: Penghijauan.

Pada catatan ini, saya tidak ingin bertutur tentang aksi penghijauan pada kedua tipe masyarakat dimuka. Namun yang menjadi perhatian dan membuat saya bergairah untuk menuturkan kembali adalah bagaimana kisah perjuangan seorang biarawati yang tinggal diwilayah terkenal sebagai lokasi hutan tropis terbesar kedua di dunia setelah hutan Amazon, melakukan aksi penghijauannya secara mandiri. Kisah heroik ini saya baca di kolom Sosok koran Kompas tanggal 26 April 2014. Siapa sosok manusia tersebut? Sosok itu bernama Elisabethine, perempuan tangguh asal Nusa Tenggara Tengah yang telah menetap di Kalimantan Tengah sejak tahun 1989. Elisabethine adalah salah satu Suster di Biara Beata Maria Helena (Wilayah kerja Kongregasi Abdi Roh Kudus) yang berada di Desa Telok Kecamatan Katingan Tengah. Lokasi tempatnya mengabdikan diri dekat dengan sungai Katingan yang lebar. Sungai-sungai di pedalaman Kalimantan memang dikenal lebar-labar, hingga seringkali dijadikan sarana lintasan pengiriman kayu sebagai strategi perusahaan pengolahan kayu demi menekan ongkos produksi tentunya. Salah satu sungai yang dijadikan sarana lintasan gelondongan adalah sungai Katingan. Hampir setiap hari Suster Elisabethine melihat gelondongan kayu yang diseret kapal kelotok melintasi sungai. Pemandangan tersebut telah membuatnya sedih, prihatin dan mulai berpikir serta mencari jawab bagaimana kiranya melawan aksi penebangan pohon-pohon tropis seperti itu. Sebagai seorang biarawati, tidak mungkin baginya untuk melawan secara frontal dengan mengajak serta komunitasnya dan masyarakat dampingannya. Tindakan yang menurutnya mungkin dilakukan dan tidak membahayakan dirinya serta komunitasnya adalah dengan aksi reboisasi atau aksi penghijauan.

Pulau Kalimantan sudah sejak lama diketahui sebagai daratan yang banyak menghasilkan kayu benuas, meranti, bengkirai, gaharu dan ulin yang tumbuhnya membutuhkan ratusan tahun. Ketika memulai aksi penghijauannya, Elisabethine mesti mencari bibit-bibit tanaman tersebut. Pencarian bibit buah-buah ulin, bibit gaharu, dan bibit agatis dilakukan pada kurun waktu 2001 sampai 2004. Dikerjakan bersamaan ketika dirinya melakukan pendampingan kepada umat Katolik yang tinggal di daerah hulu Sungai Katingan. Dengan menumpang kapal kelotok, melewati jeram berarus deras dan berbatu, dan berjalan kaki hingga sejauh 7-10 kilometer, semuanya itu dia rela hati melakukannya hanya demi mendapatkan bibit. Ongkos menumpang kapal kelotok tidak murah. Berkisar Rp 50.000-Rp 350.000. Besar tidaknya ongkos tergantung dari jauh dekat tempat yang akan dituju. Melihat panjangnya rute perjalanan, tidak jarang dia mesti menginap di tepi sungai untuk menunggu kapal kelotok lewat.

Tidak ada pekerjaan mulia yang dilakukan dengan ikhlas hati menjadi sia-sia dan terabaikan. Upah dari segala upayanya kini berwujudkan hasil. Dari 20 biji ulin yang ditanamnya, sekarang sudah tumbuh 15 pohon. Sementara dari 10 bibit benuas yang dia tanam, sudah ada 2 pohon yang tumbuh dengan diameter sekitar 20 sentimeter. Sedangkan dari 50 bibit pohon gaharu yang disemainya, kini sudah ada 40 pohon yang tumbuh. Dari ketiga jenis pohon yang dihasilkan, hanya pohon gaharu yang dia mulai kembangkan lewat menanam di polybag. Baginya, bibit pohon gaharu yang memiliki nilai ekonomis dalam tempo waktu yang tidak terlalu panjang bila dibandingkan dengan bibit pohon lainnya. Harga dari pohon gaharu per kilogramnya berkisar Rp 100.000-Rp 700.000. Adapun karas atau galihnya bisa mencapai Rp 30 juta per kilogram, dan minyaknya bahkan lebih tinggi lagi yaitu sekitar Rp 300 juta per liter. Pantas bila minyak gaharu bernilai tinggi, karena minyak yang dihasilkan dari kayu gaharu biasanya digunakan sebagai bahan parfum dan obat-obatan.

“Pohon gaharu dapat menjadi pilihan alternative yang lebih baik daripada sawit. Setelah berumur sekitar enam tahun dan menerima suntikan atau inokulasi, gaharu sudah dapat dipanen,” begitu penuturannya kepada Megandika Wicaksono, seorang pewarta Kompas.