Epidemi Human Immunodeficiency
Virus (HIV) secara global masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius. Diperkirakan terdapat 33.3 juta (31.334.5 juta) orang yang telah
terinfeksi HIV di dunia. Di kawasan Asia, sebagian besar angka prevalensi HIV
pada masyarakat umum masih rendah yaitu dibawah 1 persen kecuali di Thailand dan India
Utara. Di Indonesia juga terdapat provinsi yang prevalensi HIV pada masyarakat
umum sebesar 2.4 persen, yakni provinsi yang berada di Tanah Papua.[1]
Sudah lebih dari satu
dekade riset tentang Program Seksualitas orang Papua dilakukan oleh FHI-Aksi
Stop Aids bersama Universitas Cenderawasih. Namun, angka prevalensi HIV di
Papua tidak kunjung menurun hingga hari ini. Lihat saja laporan
Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 yang dilansir oleh sebuah situs local
dengan menyatakan bahwa Papua merupakan daerah yang sangat rawan penyebaran
HIV-Aids dengan nilai prevalensi sebesar 2,4%. [2] Fakta
tersebut ditegaskan pula oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Papua yang
mengakui kalau dalam beberapa tahun terakhir ini penemuan kasus HIV sudah
semakin meningkat. Hingga Desember 2012, jumlah kasus HIV dan AIDS di Propinsi
Papua sebanyak 13.276.
Besarnya angka tersebut dengan bukan serta merta menjadi
pekerjaan rumah pemerintah setempat. Peran pemerintah pusat dalam mengatasi
problem kesehatan di negeri Papua, terutama penanggulangan virus HIV, harus
benar-benar serius. Apabila tidak segera dibendung maka akan menjadi ancaman
potensial bagi generasi muda kedepannya. Kita tidak ingin bola salju kecil
menggelinding menjadi bola salju besar.
Negeri Papua memang unik.
Pulau kedua terbesar didunia ini mempunyai kebudayaan yang sangat berbeda
dengan daerah lain di Indonesia. Terdapat lebih dari 250 suku bangsa yang
berbeda tinggal didalamnya. Jika kita ingin melakukan penelitian mengenai
perilaku seksual lebih tepat dengan menggunakan pendekatan budaya atau populer
disebut dengan pendekatan antropologi kesehatan. Studi dengan menggunakan
pendekatan antropologi kesehatan sudah pernah dilakukan jauh sebelum Leslie
Butt melakukan riset dengan judul “The Papuan Sexuality Program” di tahun 2002.
Mari kita buka kembali Jurnal Antropologi Papua volume 1 No. 3 Agustus
tahun 2003 yang diterbitkan oleh Laboratorium Antropologi Universitas
Cendrawasih. Disitu Dumatubun menuliskan kalau kebanyakan studi antropologi
mengenai masyarakat pedesaan menggunakan metode etnografi yang hampir sebagian
besar digunakan oleh para ahli antropologi untuk dapat memahami kebudayaan
masyarakat yang diteliti. Beberapa antropolog yang dimaksudkan oleh Dumatubun
telah dipaparkan pula didalam jurnal ini.[3] Beberapa peneliti antropolog itu,
antara lain:
John H. Holmes, (1924: 172, 175), In Primitive New Guinea: An
Account of a Quarter of a Century Spent Amongs the Primitive Ipi and Namau
groups of Tribes of the Gulf of Papua, with an Interesting description of their
Manner of Living, their Customs and Habits, Feasts and Festivals,Totems and Cults.
London: Seeley Service. Penelitian tersebut merupakan kajian etnografi yang
mendeskripsikan tentang kelompok primitif Ipi dan Namau di teluk Papua.
Penekanannya pada persoalan kehidupan dan perilaku seksual (heteroseksual),
adat istiadat dan kebiasaannya, pesta-pesta dan festival-festival, totem dan
yang berhubungan dengan perilaku kebudayaan, terutama dalam aktivitas
pesta-pesta serta kehebatan dalam mengayau.
Francis E. Williams, (1924: 211-214), The Natives of the Purari
Delta. Territory of Papua, Anthropology Report No.5. Port Moresby: Government
Printer. Penelitian tersebut merupakan penelitian etnografi pada penduduk asli
Delta Purari. Lebih banyak mendeskripsikan kondisi kebudayaan yang berhubungan
dengan orang Purari, persetubuhan sebelum menikah yang dikaitkan dengan upacara
secara rutin. Pokok upacara heteroseksual khusus digarap secara cermat dengan
mengikuti tingkat keberhasilan dalam mengayau dan termasuk perolehan nilai
gelang tangan kerang dari pasangan hubungan seksual perempuan. Dalam buku
berikutnya yang berjudul Papuans of the Trans-Fly, Oxford: Clarendon
Press. Williams (1936:24,159-160) mendeskripsikan penduduk yang
berada di daerah Trans-Fly sebelah selatan Papua Niguni. Pada salah satu
bagian, dikemukakan tentang bagaimana situasi homoseksual yang dijalankan oleh
penduduk berdasarkan konsep kebudayaan. Penduduk Trans Fly, melakukan hubungan
seksual berdasarkan hubungan upacara homoseksual dengan suka sama suka, dan
istrinya bisa ditukarkan kepada laki-laki lain untuk berhubungan seksual, dan
itu menjadi kenyataan.
Gunnar Landtman, (1927:ch.24), The Kiwai
Papuans of British New Guinea: A Nature-born Instance of Rousseau’s Ideal
Community. London. Macmillan (Reprinted, 1970, Johnson Reprint Co). Penelitian
tersebut merupakan penelitian etnografi pada orang Kiwai di Papua Niguni yang
menggambarkan situasi hubungan seks lebih banyak mengarah pada aktivitas
kebudayaan. Pengungkapan secara nyata tentang perilaku seks berdasarakan
kebudayaan masyarakat tersebut dinyatakan secara detail. Persetubuhan dilakukan
dengan siapa saja dan ditegaskan terutama untuk menghasilkan cairan seks
(sperma) guna meningkatkan kesuburan. Dalam hubungan seksual, ini lebih penting
dalam ritual kesuburan, mouguru. Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh suami
dan isteri yang tua bertujuan untuk menghasilkan cairan sperma untuk maksud
perluasan spiritual.
Jan van Baal, (1966:
808-818), Dema: Description and Analysis of Marind-Anim Culture (South New
Guinea), The Hague. Dalam penelitian etnografi ini, Jan van Baal
mendeskripsikan dan menganalisa Dema dalam konteks kebudayaan orang Marind-Anim
di selatan Papua. Lebih jauh dijelaskan dalam salah satu bagian tentang konsep
seks heteroseksual yang ada dalam kebudayaan orang Marind-Anim dengan penekanan
pada persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak terdapat pada
upacara dan beberapa pesta adat besar untuk maksud peningkatan kesuburan.
Beberapa dari upacara seksual ini dikelompokkan pada kaum lekaki yang sudah
menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki yang
memperoleh keberhasilan dalam mengayau dengan satu atau dua orang perempuan
muda. Laporan dari A South Pacific Commission (1952-1953, 1955) menyatakan
bahwa frekuensi yang terbesar dari upacara heteroseksualitas membuat suatu
tingkat tertinggi dari bentuk sterilisasi wanita Marind-Anim pada jaman sebelum
kolonial.
Laurent M. Serpenti,
(1968), Headhunting and Magic on Kolepom (Frederik-Hendrik Island, Irian
Barat). Tropical Man. Pp.116-139. Dalam
penelitian etnografi ini lebih ditekankan pada kebudayaan mengayau pada orang
Kolepom, dimana kehebatan seseorang dalam mengayau akan dinyatakan dalam
upacara dan pada saat itu dapat berhubungan seks secara heteroseksual dengan
wanita yang telah menikah atau wanita yang telah memasuki masa puber dan
dilakukan dalam upacara inisiasi. Sedangkan pada The Ritual Meaning of
Homosexuality and Pedophilia among the Kimam-Papuans of South Irian Jaya. Dalam
Ritualized Homosexuality in Melanesia. Edited by Gilbert H. Herdt. Pp.292-336. Berkeley: University of California Press. Dalam
penelitian etnografi ini, Serpenti (1984) lebih menekankan pada arti upacara
homoseksual dan pedohilia diantara orang Papua Kimam. Di sini digambarkan bahwa
persetubuhan dalam upacara seksual antara seorang laki yang sudah menikah
dengan seorang perempuan puber yang memasuki masa dewasa dalam kegiatan
inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu pelengkap dalam upacara inisiasi untuk
membuktikan masa kedewasaan perempuan. Sedangkan hubungan seks secara
heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja bagi wanita yang telah menikah,
dalam akhir dari kegiatan suatu pesta kematian, dan dalam akhir kegiatan
mengayau.
Gerard A. Zegwaard dan
Boelaars J.H.M.C (1982:21-23), Social Structure of the Asmat People. (Annotated
translation by Frank A. Trenkenschuh and J. Hoggebrugge of “De Sociale
Structuur van de Asmat-bevolking”) dalam An Asmat Sketch Book No.1. Edited by
Frank A. Trenkenschuh, pp.13-29. Hastings, NE:
Crosier Missions. Dalam penelitian etnografi ini dijabarkan secara deskriptif
tentang struktur sosial orang Asmat. Di dalamnya disajikan uraian tentang
bagaimana hubungan seks secara heteroseksual yang berkaitan dengan status
seseorang dalam kepemimpinannya. Kehebatannya dalam mengayau sebagai simbol
keperkasaannya, sehingga dapat berhubungan seks secara bebas dengan menukarkan
istri, atau dengan laki-laki yang disenangi (bagi wanita). Di antara orang
Asmat, terjadi penukaran istri dalam pesta Papiis kadang dalam skala kecil
suatu upacara. Secara umum persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan
pilihan wanita yang menghias dirinya guna mengikuti kegiatan pengayauan, atau
laki-laki sesudah lulus dari rumah laki-laki, dan pada saat diadakan upacara
pengukiran patung nenek moyang (bis).
David B. Eyde, ( 1967:
205-210), Cultural Correlates of Warfare among the Asmat of South-West New
Guinea. Ph.D dissertation, Departement of Anthropology, Yale University. New
Haven. CT. Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan korelasi kebudayaan
tentang peperangan pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam salah satu bagian
dijelaskan tentang hubungan peperangan dengan hubungan seks secara
heteroseksual. Konsep kepemimpinan membawa status seseorang untuk dinilai lebih
hebat dan dapat berhubungan seks secara bebas dengan wanita lain yang disenangi
atau istri orang lain yang disenangi.
Tobias Schneebaum, (1988:
83), Where the Spirits Dwell: An Odyssey in the New Guinea Jungle. New York:
Grove Weidenfeld. Dalam penelitian etnografi ini dideskripsikan tentang dimana
roh itu tinggal, sebuah pengembaraan di hutan Papua. Di salah satu bagian
dijabarkan tentang kehidupan roh yang dikaitkan dengan kosmologi serta status
seseorang. Di sini dengan adanya perubahan sosial tersebut mengundang mereka
untuk melakukan hubungan seks secara heteroseksual dengan perempuan serta
ibu-ibu yang disenangi. Konteks ini lebih menjelaskan pada konsep kebudayaan
orang Asmat dalam kehidupan mereka.
Abraham Kuruwaip, (1984:
14), The Asmat Bis Pole: Its Background and Meaning. Dalam An Asmat Sketch Book
No.4. Edited by Frank Trenkenschuh,pp.11-30. Hastings, NE:
Crosier Missions. Penelitian etnografi ini dideskripsikan tentang latar
belakang dan arti dari pada suatu patung Bis pada orang Asmat. Di dalam salah
satu bagian dijabarkan bagaimana hubungan upacara pembuatan patung bis dengan
kegiatan heteroseksual. Upacara pembuatan patung bis bagi orang Asmat akan
didahului dengan bentuk upacara yang akan dihubungkan dengan perilaku seks
diantara mereka secara heteroseksual.
Alphonse (Msgr) Sowada,
(1961: 95), Socio-Economic Survey of the Asmat Peoples of Southwestern New
Guinea . M.A. Thesis, Department of Anthropology, Catholic University of
America, Washington, DC. Dalam penelitian etnografi ini dijelaskan tentang
sosio-ekonomi pada orang Asmat di selatan Papua. Dalam uraiannya disajikan juga
aktivitas seks di kalangan orang Asmat dalam kegiatan sosio-ekonominya.
A. van Kampen, (1956:
73-76), Wilkende Wildernis: Onder Kannibalen en Christen-Papoeas’s. Amsterdam:
Uitgeverij C. de Boer, Jr. Dalam penelitian etnografi ini mendeskripsikan
bagaimana keinginan kehidupan rimba raya di bawah kanibal dan Kristen Papua.
Kehidupan budaya dalam konsep kanibal selalu dikaitkan dengan adanya suatu
hubungan seks secara heteroseksual yang umumnya terdapat pada orang Papua.
Gilbert H. Herdt, (1984a),
Ritualized Homosexual Behavior in the Male Cults of Melanesia; (1992),
Retrospective on Ritualized Homosexuality in Melanesia: Introduction to the New
Edition. In Ritualized Homosexuality in Melanesia, 2nd edn. Berkeley:
University of California Press. Dalam penelitian etnografi dengan deskripsinya
tentang perilaku seksual pada orang Melanesia yang penekanannya pada dimensi
ritual tentang praktek homoseksual. Homoseksual pada orang Melanesia ditentukan
oleh kosmologi secara baik sebagai suatu orientasi erotik, ditentukan oleh
kepercayaan hidup yang kuat bahwa insiminasi selalu terjadi ketika seorang anak
laki memasuki kedewasaannya. Praktek homoseksual secara reguler dilakukan dalam
praktek ritual khususnya didalam inisiasi kaum laki dalam konteks pengayauan
dan menjadi praktis di dalam lingkaran kehidupan laki-laki yang ditegaskan
dalam masyarakat Melanesia. Studi ini lebih banyak menyajikan analisa
kebudayaan dengan melihat pada aspek seksual secara ritual dan dideskripsikan
dengan analisa etnografi kebudayaan orang Melanesia.
Bruce M. Knauft (1993),
South Coast New Guinea Cultures: History, Comparison, Dialectic, New York.
Cambridge University Press. Dalam penelitian etnografinya, mendeskripsikan
kondisi budaya masyarakat di selatan Papua dengan studi perbandingan perilaku
seksual dari suku bangsa di Papua Niguni bagian selatan, Asmat dan Marind-Anim
dengan analisa karakteristik regional dan simbolik serta permutasian
sosio-politik berdasarkan latar belakang sejarah dan konfigurasi regional.
Analisisnya lebih banyak didasarkan pada analisa interpretasi etnografi dengan
penekanan pada kebudayaan masyarakatnya.
Kajian kebudayaan yang
berhubungan dengan Pandangan, Kepercayaan, Sikap dan Perilaku Seksual (PMS)
pada Masyarakat Dani (1997), yang dilakukan oleh Nico A. Lokobal; G.
Yuristianti; Deri M. Sihombing; dan Susana Srini, melakukan pengkajian dengan
menggunakan data kebudayaan dengan analisa Rapid Assessment Procedures (RAP)
atau Rapid Ethnographic Assessment (REA). Kajian lebih mengarah pada gambaran
kebudayaan masyarakat Dani tentang seksualitas mencakup persepsi, sikap,
kepercayaan dan perilaku yang dihubungkan dengan penyakit menular seksual.
Hasil analisisnya lebih mengutamakan kerangka berpikir masyarakat berdasarkan
konsep kebudayaan mereka.
Penelitian seksual pada
suku bangsa Arfak juga dilakukan oleh David Wambrauw dengan judul Perilaku
Seksual Suku Arfak (2001), Jayapura. Pusat Studi Kependudukan Universitas
Cenderawasih, lebih banyak menyoroti latar belakang kebudayaan suku Arfak
dengan pendekatan Rapid Ethnographic Assessment (REA). Analisisnya ditujukan
pada latar belakang kebudayaan suku Arfak khusunya berkaitan dengan pemahaman
mereka tentang perilaku seksual dan ditambah dengan analisa pemahaman tentang
PMS, HIV/AIDS serta bentuk-bentuk industri seks. Perilaku seksual ini lebih
banyak dikaitkan dengan pemahaman adat-istiadat, faktor penunjang serta
jaringan penularan yang mendukung adanya perilaku seksual yang dapat
menimbulkan penyakit menular seksual serta HIV/AIDS. Hal yang sama dalam
penelitiannya berjudul Perilaku Seks Sebagai Peluang Penularan Penyakit AIDS di
Jayapura, (1994). Jayapura.
Pusat Studi Kependudukan
Universitas Cenderawasih, lebih banyak menggunakan observasi langsung ke
lokasi-lokasi penelitian dan dikemukakan kondisi perilaku seks dikalangan
wanita penghibur Non-Papua dan etnis Papua serta menggambarkan lokasi-lokasi
beroperasinya penjaja seks. Analisis dikaitkan dengan faktor penunjang
kemungkinan timbulnya PMS, HIV/AIDS secara mudah melalui sarana-sarana seperti
pertumbuhan lokasi prostitusi, migran ulang alik lintas negara, tingkat
pendidikan yang rendah, wanita panggilan, laki-laki pelanggan seks, serta
kondisi ekonomi yang rendah.
Beberapa artikel
yang ditulis oleh Dr. Gunawan Ingkokusuma, MPH, MA yang berjudul “Peranan
Lembaga Masyarakat Adat (LMA) dalam Penanggulangan Epidemi HIV” dalam Buletin
Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi Kependudukan
Universitas Cenderawasih. Tulisannnya lebih menyoroti tentang perkembangan
situasi HIV/AIDS di tanah Papua, faktor-faktor penyebaran epidemi HIV serta
peranan Lembaga Masyarakat Adat dalam nenanggulangi masalah HIV/AIDS di tanah
Papua. Tulisan yang sama tentang HIV/AIDS yang ditulis oleh Dr. La Pona Msi
yang berjudul “Determinan Penanggulangan Penularan HIV/AIDS dalam Masyarakat
Majemuk di Papua” dalam Buletin Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000.
Jayapura, Pusat Studi Kependudukan Universitas Cenderawasih. Juga tulisan yang
dikemukakan oleh Drs. John Rahail MKes., dengan berjudul “Desentralisasi dan
Penanggulangan AIDS di Papua” dalam Buletin Populasi Papua.Vol.1,No.3 April 2001. Tulisannya lebih
menyoroti tentang pertumbuhan HIV/AIDS di Papua dengan melihat pada
faktor-faktor pendukung. Kajian yang sama tentang perilaku seksual juga ditulis
oleh Drs. Djekky R. Djoht MKes., yang berjudul “Perilaku Seksual, PMS dan
HIV/AIDS di Kecamatan Sarmi dan Pantai Timur Tanah Papua” dalam Buletin
Populasi Papua. Edisi 2/Desember 2000. Jayapura, Pusat Studi Kependudukan
Universitas Cenderawasih. Pendekatan yang digunakan adalah analisa etnografi
dengan model Rapid Ethnographic Assessment (REA) dan sasaran analisa lebih
banyak dikaitkan dengan konteks kebudayaan yang berhubungan dengan masalah
seksual di kalangan suku bangsa Sarmi. Melihat bagaimana konteks kebudayaan
dapat mendukung perilaku seksual di kalangan masyarakat yang pada akhirnya
dapat merupakan faktor pendukung untuk timbulnya penyakit menular seksual,
HIV/AIDS dengan mudah.
Suatu penelitian tentang
Program Seksualitas Orang Papua (The Papuan Sexuality Program ,2002) yang
dilakukan pada tiga kabupaten (Merauke, Jayapura, dan Jayawijaya) oleh
USAID-FHI Aksi Stop AIDS kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih,
ed. Butt Leslie, Ph.D. menghasilkan suatu gambaran tentang kondisi
HIV/AIDS di Papua dengan menggunakan metode Antropologi dan pendekatan Rapid
Anthropological Assessment Procedures (RAAP). Kajian lebih ditekankan pada
kajian etnografi dengan penekanan pada latar belakang kebudayaan orang Papua
yang menjadi sasaran penelitian seksualitas. Penelitian ini lebih menekankan
pada analisa terapan guna mengatasi masalah HIV/AIDS dengan program AKSI Stop
AIDS, melalui aksi penggunaan kondom. Analisa faktor budaya dan faktor
pendukung lainnya juga dikaji (ekonomi, narkoba, adat-istiadat, pendidikan
rendah, kondisi keluarga/ orang tua cerai dan meninggal) sebagai pendukung
cepatnya meningkat penderita HIV/AIDS melalui perilaku seks bebas.
Beberapa hasil penelitian
diatas, sebenarnya telah memperlihatkan kepada kita bagaimana gambaran tentang
kasus seksualitas yang terjadi di negeri Papua dalam satu abad silam. Papua
Masa Lalu dan Masa Kini. Adat istiadat primitive beberapa suku di Papua telah
menyumbangkan warisan perilaku kesehatan yang buruk bila dilihat pada saat ini.
Mengacu pada definisi sehat versi WHO, yang mengatakan bahwa: Sehat itu adalah “a state of complete physical, mental, and social well being, and
not merely the absence of disease or infirmity”(WHO,1981:38),[4] sehingga
dapat diterjemahkan bahwa sehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik,
melainkan juga kondisi mental dan sosial seseorang. Didalam Jurnal Antropologi
Papua dimuka, dituliskan pula oleh Dumatubun beberapa perilaku seks menyimpang
suku-suku di Papua pada masa lalu yang hingga kini masih berlangsung,
diantaranya:
Suku Purari.
Diantara orang Purari, persetubuhan sebelum menikah selalu diupacarakan secara
rutin dan inti dari upacara ini yaitu pengelompokkan antara laki dan
perempuan. Upacara heteroseksualitas, khusus dinyatakan dalam keberhasilan
mengayau dan penerimaan gelang tangan kerang dari pasangan seksual.
Pada suku Kiwai, persetubuhan ditegaskan untuk menghasilkan
cairan seksual guna meningkatkan kesuburan. Persetubuhan dilakukan dengan siapa
saja. Dalam hubungan seksual, yang pada intinya lebih penting dalam ritual
kesuburan, mouguru, dan digabungkan dengan peristiwa lain yaitu dengan
pengelompokan heteroseksual. Upacara persetubuhan juga dilakukan oleh suami dan
isteri yang tua guna menghasilkan cairan seksual di dalam kepentingan spiritual
yang lain.
Sedangkan pada suku Marind, persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah
banyak terdapat pada upacara, beberapa pesta adat besar untuk maksud
meningkatkan. Beberapa dari upacara seksual ini dilakukan oleh lelaki yang
sudah menikah dan ibu-ibu, bahkan dapat berhubungan seksual dengan laki-laki
yang memperoleh keberhasilan dengan satu atau dua orang perempuan muda. Orang
Marind, biasanya sebelum menikah, laki dan perempuan tinggal terpisah pada
rumah laki dan rumah perempuan. Setelah dewasa, mereka mulai mengenal, dalam
suatu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual. Hal ini selalu dikaitkan
dengan konsep religius, karena untuk meningkatkan kesuburan adalah sangat
penting. Dalam segala hal yang berhubungan dengan kesuburan, kehidupan dalam
perkawinan, membuka kebun, awal dari kegiatan pengayauan, maka sebuah pesta yang
berkaitan dengan hubungan seksual selalu dilakukan. Upacara hubungan seks (otiv
bombari) dilakukan secara religius. Dalam peristiwa perkawinan, biasanya calon
penganten perempuan harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan sepuluh
laki-laki dari kerabat suaminya sebelum diserahkan kepada suaminya. Hal ini
dikaitkan dengan konsep kesuburan, yaitu harus diberikan “cairan sperma” agar
wanita tersebut subur.
Bagi suku Kolepom, hubungan seksual dalam upacara, biasanya
antara seorang laki yang sudah menikah dengan seorang perempuan puber yang
memasuki masa dewasa dalam suatu inisiasi. Hubungan seksual sebagai suatu
pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan bahwa ia telah dewasa.
Sedangkan hubungan seks secara heteroseksual dapat dilakukan dengan siapa saja
diantara wanita yang telah menikah, setelah mengakhiri suatu kegiatan pesta
kematian, dan kegiatan mengayau.
Sedangkan pada suku Asmat, terjadi penukaran istri dengan lelaki yang
disenangi, kadang-kadang dalam jumlah kecil pada suatu upacara. Secara umum
persetubuhan secara heteroseksual bebas dengan wanita pilihannya, yang menghias
dirinya dalam mengikuti kegiatan mengayau. Di lain pihak hubungan seks terjadi
setelah laki-laki bebas dari rumah laki-laki, dan pada saat diadakan pengukiran
patung nenek moyang.[5]
Kegiatan adat istiadat
yang menyimpang dari konsep kesehatan secara modern menjadi dinding tebal yang
tidak mudah ditembus. Kemajuan kesehatan orang-orang Papua dirumitkan lagi
dengan banyaknya suku-suku dengan kepercayaan adat yang berbeda pula. Jalan
keluar yang progresif adalah memutus rantai kepercayaan adat istiadat leluhur
melalui modernisasi tanpa menghilangkan kebudayaan original yang dianggap
menarik bagi dunia wisata. Dari hasil penelitian Leslie, telah
disimpulkan bahwa masyarakat Papua sekarang tidak lagi berpikir dan bertindak
hanya sejalan dengan norma-norma budaya tradisional-nya, karena diakui pula
olehnya kalau perubahan sosial dan ekonomi telah membentuk pengalaman
masyarakat Papua secara ekstensif. [6] Faktor-faktor yang memicu timbulnya
perubahan, yaitu: masuknya ekonomi berbasis uang, adanya nilai-nilai baru
yang dimasukan oleh orang Indonesia, berkembangnya kepercayaan agama Kristen,
angka perpindahan dalam daerah yang sudah naik tinggi, dan angka imigrasi yang
tinggi ke propinsi ini oleh orang Indonesia yang selanjutnya kawin campur dan
berhubungan seksual dengan orang Papua.
Otonomi Khusus dapat
dimaknai sebagai bentuk percepatan masuknya modernisasi di Papua. Setidaknya
itu yang menjadi tujuan tersembunyi dari Pemerintah RI dibalik ketakutannya
negeri Papua lepas dari NKRI. Alih-alih ekspektasi yang lebih, kemunduran yang
didapat. Sejak ditetapkan Propinsi Papua menjadi satu kesatuan wilayah RI di
tahun 1969 hingga diberikannya otonomi khusus pada tahun 2001, kondisi
kesehatan masyarakat Papua hanya mengalami kemajuan bila dibandingkan dengan
keadaan sebelumnya. Kemajuan ini jelas ditopang dengan alokasi dana yang
diberikan untuk kesehatan. Mari kita lihat besar rincian yang didapat. Sebagai
negeri yang menyandang Otonomi Khusus, sehingga berhak mendapatkan Dana
Perimbangan yang diperoleh dari pajak dan sumber daya alam.[7] Besar rinciannya sebagai berikut:
1. Pajak
Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
2. Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)
3. Pajak
Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
4. Kehutanan
sebesar 80% (delapan puluh persen)
5. Perikanan
sebesar 80% (delapan puluh persen)
6. Pertambangan
umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
7. Pertambangan
minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001.
Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)
8. Pertambangan
gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001.
Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Ditekankan pula bahwa sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen)
penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya
pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan
perbaikan gizi.
Secara kasat mata, mudah bagi kita untuk mengatakan kalau dana
sebesar itu dapat mengatasi problem kesehatan dan perbaikan gizi. Tapi, pada
kenyataannya tidaklah semulus anggapan orang kebanyakan. Mengelola berhungan
sebab akibat dengan pengelolaannya. Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua di Pasal 59 ayat 3 menyatakan
bahwa setiap penduduk Papua memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Dalam hal ini, peran Negara tidak harus diam. Karena kesehatan berhubungan erat
dengan kehidupan sosial dan ekonomi seseorang. Lagipula, setiap warga Negara
mempunyai hak untuk hidup sehat. Dan sudah menjadi tanggungjawab sebuah Negara
untuk memberikan pelayanan kesehatan secara merata bagi warga negaranya,
seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, “kesehatan adalah hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia”,
serta pada Pasal 1 (1) yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan faktor penting
bagi manusia untuk dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pola kehidupan masa lalu orang Papua memang sedemikian buruknya,
bila tidak mau dikatakan primitif dalam kehidupan kita pada hari ini. Program
Penanggulangan HIV dan AIDS pun sudah dilakukan hingga menyentuh anak-anak
sekolah dasar, seperti yang pernah dikerjakan oleh UNICEF. Jika masih dianggap
gagal, beberapa riset yang pernah dilakukan oleh orang-orang dimuka dapat
dibaca kembali dan ditelisik lebih dalam, sehingga nantinya dapat mencetuskan
metode penelitian baru yang merupakan modifikasi dari yang sebelumnya pernah
digunakan.
[1] Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Surveilans Terpadu Biologis dan
Perilaku. 2011.
[2] Lihat di: http://tabloidjubi.com/2013/06/10/24-persen-prevalensi-hivaids-didukung-oleh-keadaan-papua/,
diakses pada 8 Maret 2014.
[3]
A.E.
Dumatubun. “Pengetahuan Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim“,
dalam Jurnal Antropologi Papua, Vol. 1, No.1, Agustus 2003, Universitas
Cendrawasih. Dapat unduh di: http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-03/jurnal.pdf,
diakses pada 8 Maret 2014.
[4] World
Health Organization (WHO). Development of Indicator for Monitoring Progress
Towards Health for All by The Year 2000, Geneva, WHO. Dapat unduh di:
http://www.searo.who.int/entity/primary_health_care/documents/hfa_s4.pdf,
diakses pada 15 Maret 2014.
[5] Ibid.
hal. 20-21. 2003.
[6] Leslie
Butt. The Papuan Sexuality Program. Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih
dan USAID-FHI; Jayapura, 2002. Lihat di:
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNACT834.pdf, diakses pada 15 Maret 2014.
[7] Selengkapnya
lihat di: http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_khusus_Papua, diakses pada 15
Maret 2014.