Ekowisata Badak Jawa

Patung Badak
Patung Badak
In frame: Dede Ceger, Oki Petrus Laoh, Tisna, Yusuf Aria Putra, Yana, dan Topa Hariyanto

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan salah satu alternatif daerah tujuan wisata alam penting di Indonesia, terletak di wilayah Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang. Kawasan ini memiliki daya tarik berupa pemandangan alam yang indah dan merupakan hutan hujan tropis dataran rendah yang masih asli serta perairannya mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Bahkan kawasan Taman Nasional Ujung Kulon ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 1992 yang dikenal secara internasional karena merupakan habitat terakhir satwa badak jawa (Rhinoceros sondaicus).

Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon secara keseluruhan memiliki luas 120.551 hektar, yang meliputi wilayah Semenanjung Ujung Kulon. Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, dan Gunung Honje. Semenanjung Ujung Kulon merupakan salah satu kawasan yang terkenal dengan jalur pantainya. Hamparan ekosistem Semenanjung Ujung Kulon memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang ke kawasan tersebut.

Potensi Ekowisata di Taman Nasional Ujung Kulon

1. Potensi Flora

Kawasan Semenanjung Ujung Kulon memiliki beragam flora yang membentuk berbagai formasi hutan, yang dicirikan adanya dominasi spesies tertentu, antara lain hutan hujan tropis dataran rendah, hutan rawa, mangrove, dan hutan pantai. Beberapa trail interpretasi di pantai utara (Citerjun – Cidaun – Cibunar) dan pantai barat (Cibom – Tanjung Layar – Ciramea) Semenanjung Ujung Kulon pada umumnya memiliki keindahan beragam flora.

Hamparan ekosistem pada trail Citerjun – Cidaun memiliki perpaduan vegetasi hutan rawa dengan hutan pantai. Sebagian besar untuk trail hutan mulai dari Citerjun sampai Telanca cenderung didominasi oleh flora jenis langkap (Arenga obtusifolia). Selanjutnya, trail berupa pantai dari Telanca sampai Cidaun sebagian besar flora yang mendominasi di tepi pantai adalah formasi nyamplung (Callophylum inophyllum).

Sepanjang trail Cidaun – Cibunar memiliki ekosistem khas yang didominasi oleh hutan hujan dataran rendah. Vegetasi yang mendominasi berupa pohon-pohon besar dengan tajuk yang lebar, seperti kiara (Ficus Sp.). Di samping itu banyak dijumpai pohon langkap (Arenga obtusifolia) dan bangban (Donax cannaeformis). Ekosistem hutan pantai dapat dijumpai pada trail ini di Padang Penggembalaan Cibunar menuju Cikeusik yang didominasi oleh tumbuhan pandan (Pandanus Sp.)
Trail Cibom – Tanjung Layar merupakan hamparan ekosistem hutan hujan dataran rendah secara keseluruhan. Vegetasi yang mendominasi berupa pohon-pohon besar, seperti gadog (Bischofia javanica) dan kiara (Ficus Sp.).

Perpaduan antara vegetasi hutan hujan dataran rendah dan vegetasi hutan pantai pada trail Tanjung Layar – Ciramea merupakan ekosistem yang unik dan khas. Sepanjang trail hutan tersebut flora yang mendominasi adalah bangban (Donax cannaeformis) dan semakin mendekati ke arah tepi pantai banyak dijumpai nyamplung (Callophylum inophyllum), ketapang (Terminalia cattapa), dan pandan (Pandanus Sp.).

Potensi flora merupakan salah satu obyek interpretasi alam utama dalam rute trail yang dilalui oleh pengunjung. Berdasarkan hasil verifikasi dan pengamatan, jenis-jenis flora yang memiliki keindahan, keunikan, dan terlihat menarik pada trail interpretasi dipilih menjadi obyek interpretasi.

2. Potensi Fauna

Satwa yang terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon walaupun secara umum sulit diamati secara langsung, tetapi dari jejaknya dapat menjadi obyek interpretasi yang menarik. Dari hasil pengamatan di setiap trail lebih banyak ditemukan jenis satwa burung dibandingkan dengan jenis satwa mamalia dan primata.

Pada trail Tanjung Lame – Karang Ranjang sering dijumpai berbagai jenis burung, antara lain madu kelapa (Anthreptes malacensis), rangkong badak (Buceros rhinoceros), madu bakau (Nectarinia calostetha), cabai jawa (Dicaeum trochileum), takur tulung tumpuk (Megalaima javensis). Di sepanjang trail sering terlihat burung rangkong yang sedang terbang maupun sedang bertengger di atas pohon. Selain itu, di trail ini ditemukan jejak badak jawa (Rhinoceros sondaicus), macan tutul (Panthera pardus), dan babi (Sus scrofa) serta ditemukannya berbagai jenis primata, yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata), dan owa (Hylobates moloch).

Jenis burung yang ditemukan di sepanjang trail Karang Ranjang – Cibandawoh, yaitu rangkong badak (Buceros rhinoceros), cinenen belukar (Orthotomus sutorius), cabai jawa (Dicaeum trochileum), tekukur biasa (Streptopelia bitorquata), cekakak sungai (Todirhampus chloris), dan merak hijau (Pavo muticus). Sedangkan pada trail Cibandawoh – Cikeusik tidak begitu banyak jenis burung yang ditemukan, hanya jenis burung air karena sepanjang trail menyusuri padang pasir yang sangat panjang, antara lain wili-wili besar (Burhinus giganteus), kuntul karang (Egretta sacra), belibis batu (Ictinaetus malayensis), elang hitam (Dendrocygma javanica), dan alap-alap macan (Falco severus).

Di Padang Penggembalaan Cidaon dan Cibunar dapat dijumpai secara langsung banteng (Bos javanicus), monyet ekor panjang (Macaca fasicularis), babi hutan (Sus scrofa vittatus), merak hijau (Pavo muticus), dan beberapa jenis burung. Sedangkan untuk trail lainnya di jalur Cidaon – Cibunar dan Cibom – Tanjung Layar dapat dijumpai jejak ataupun suara dari satwa liar yang ada dan beberapa jenis burung.

Banteng (Bos javanicus) merupakan satwa yang pada pagi hari dan sore mencari makan, sedangkan pada siang hari dan malam hari beristirahat di hutan. Jika ingin melihat satwa tersebut maka trail dilakukan saat mereka mencari makan. Biasanya banteng dijumpai dalam kelompok yang terdiri dari 10-30 ekor, tetapi kebanyakan banteng jantan lebih soliter, kecuali pada saat musim kawin. Satwa ini sering dijumpai di Padang Penggembalaan Cidaon dan Cibunar. Jejak-jejak satwa ini juga dapat dijumpai di sepanjang trail.

Monyet ekor panjang (Macaca fasicularis) sering dijumpai hidup berkelompok yang terdiri dari banyak jantan dan betina dewasa. Monyet ini pemakan segala jenis makanan (omnivora), namun komposisinya lebih banyak buah-buahan, selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, dan umbi. Satwa ini biasanya dijumpai dalam kondisi bertengger pada batang pohon yang roboh di tengah Padang Penggembalaan Cidaun.

Babi hutan (Sus scrofa vittatus) yang dijumpai di Padang Penggembalaan Cidaun hidup berkelompok antara 5-12 ekor beserta anak-anaknya. Biasanya satwa ini keluar ke padang penggembalaan selain untuk mencari makan, juga berteduh di bawah pohon ataupun berkubang dalam kubangan-kubangan kecil yang ada.

Merak hijau (Pavo muticus) adalah kerabat ayam hutan atau burung kuau. Yang jantan memiliki ekor panjang yang terdiri dari 150 helai bulu dan terbentuk dari pangkal ekornya, yang dapat ditegakkan hingga tercipta sebuah kipas yang luar biasa cantik. Selama berabad-abad, burung merak jantan telah dijumpai dalam mitologi maupun cerita rakyat karena dikagumi keindahan bulunya. Biasanya satwa ini dijumpai berpasangan antara jantan dan betina di Padang Penggembalaan Cidaon.

Secara umum, pada trail lainnya hanya dapat dijumpai jejak ataupun suara dari satwa liar yang ada, hanya satwa jenis burung yang paling sering dijumpai. Jenis burung yang paling sering dijumpai pada setiap trail adalah rangkong badak (Buceros rhinoceros). Suara satwa ini sering disuarakan dalam bentuk duet, tapi yang satu sedikit terlambat daripada yang lain sehingga terdengar seperti ‘honk-hank...’. selain itu, mereka mengeluarkan suara deruan dahsyat ketika terbang mengepakkan sayap. Rangkok badak sering dijumpai di pohon ara raksasa yang sedang berbuah.

Selain itu dari jenis insekta yang sering dijumpai sepantang trail hutan, terutama untuk trail Citerjun – Cidaun dan trail Cidaun – Cibunar adalah tonggeret periodik (Magicicada septendecim). Tonggeret periodik adalah serangga besar pengisap getah tanaman. Ia terkenal karena nada suaranya yang tinggi dan monoton sehingga sering disebut tonggeret si penghasil bunyi. Bunyi penggeret ini dapat didengar, terutama pada saat-saat cuaca masih remang-remang, seperti pagi hari (05.30 – 08.30) dan sore hari menjelang petang (16.00 – 18.00).


Pos Jaga Cilintang


3. Keindahan Alam

Keindahan alam yang dapat dinikmati di trail Tanjung Lame – Karang Ranjang – Cibandawoh – Cikeusik adalah sebagai berikut:

Pemandangan Alam, Pemandangan alam yang indah berupa bentuk formasi hutan hujan tropis dataran rendah, hutan mangrove, hutan primer, dan hutan sekunder.

Sungai Ciperepet, Sungai Ciperepet merupakan sungai yang mengalir sepanjang tahun. Sungai ini berbatasan atau terletak dekat dengan hutan mangrove. Sungai ini memiliki keindahan tersendiri dengan pemandangan alam yang sangat menarik.

Makam Kuta Karang, Makan Kuta Karang merupakan salah satu tempat yang sering dijadikan lokasi berziarah oleh masyarakat. Menurut sejarahnya, ada seorang kuncen mendapat wangsit untuk menjadikan tempat tersebut sebagai tempat ziarah sebelum ke Sanghyang Sirah. Makam ini terletak di blok Cilintang, +/- 20 menit perjalanan dengan berjalan kaki menyusuri jalan patroli Tanjung Lame – Karang Ranjang.

Pantai Selatan, Pantai Selatan adalah pesona lain yang tidak kalah menariknya dibandingkan tempat lain di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Hamparan pasir putih Pantai Selatan merupakan yang terpanjang di kawasan ini, yaitu +/- 28 km dengan deburan ombak yang kencang. Pantai Selatan memiliki panorama khas yang sangat indah. Bila kita berjalan dari Tanjung Lame – Karang Ranjang maka setelah sekian lama kita berada di rimbunnya hutan hujan tropis, ketika sampai di Cibandawoh seolah-olah tersibak dan akan terlihat pemandangan yang sangat fantastis berupa deburan ombak kencang Pantai Selatan dengan hamparan pasir putih.

Muara Sungai Cikeusik, Muara Sungai Cikeusik merupakan salah satu keindahan alam yang sangat menarik untuk dinikmati oleh wisatawan yang mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon. Sungai Cikeusik merupakan muara sungai yang besar dan luas dengan gundukan pasir yang membukit di tepi pantai, dengan latar belakang vegetasi hutan pantai yang didominasi tumbuhan jenis pandan.

(Disadur dari tulisan E.K.S. Harini Muntasib dalam buku Teknik Konservasi Badak Indonesia, Penerbit Literati, 2012, hlm. 216-222)