Alam dan Budaya di Tanah Para Raja




Toraja adalah salah satu destinasi wisata terbaik yang wajib dikunjungi di Indonesia. Di sinilah tempat di mana bentang alam yang indah berpadu dengan kultur budaya masyarakat yang kaya serta peninggalan sejarah nan magis dan mistis. Sangat disayangkan kalau kamu kebetulan sedang bertugas di Toraja, tetapi hanya dalam waktu yang singkat. Apalagi kalau tidak menyempatkan diri berkunjung ke obyek wisata yang ada di sana, minimal satu saja. Wah, pasti penyesalan yang akan kamu dapat. Bagaimana jika teman-teman di kantor bertanya, kamu akan menjawab apa nantinya? “Gimana Toraja? Sempat singgah ke Londa? Sempat ke Kete Kesu?” Kamu tidak bisa menjawab, bukan?

Saya bersama lima teman menghadapi situasi seperti itu waktu melakukan survey MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Kebetulan, salah satu di antara teman kami adalah asli Toraja. Saat akan pindah wilayah pencacahan, rute kami melewati Tana Toraja. Teman yang orang Toraja menawarkan singgah ke rumah neneknya, sekalian mengambil libur di sana. Kami menerima tawarannya dan mengambil libur selama tiga hari saja karena jatah libur memang hanya tiga hari. Dalam tulisan ini, saya akan bercerita sedikit tentang sejarah Toraja dan dua tempat wisata terkenal yang kami kunjungi, yaitu Londa dan Kete Kesu.

Tana Toraja sebelumnya merupakan satu kabupaten yang sebagian besar wilayahnya didiami oleh suku Toraja. Toraja kini telah dimekarkan menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Toraja Utara dan Kabupaten Tana Toraja. Rantepao adalah ibukota kabupaten Toraja Utara, sedangkan Makale ibukota kabupaten Tana Toraja. Kedua wilayah berbatasan dengan Kabupaten Enrekang, Kabupaten Luwu, dan Kota Palopo, Sulawesi Selatan.

Asal-usul Tana Toraja

Tentu kamu sudah mengetahui tentang Tana Toraja, baik itu lewat majalah maupun televisi, serta mungkin cerita dari teman-teman kamu. Bagi saya, yang menjadi daya Tarik Tana Toraja adalah budaya tradisional dan udaranya yang begitu sejuk terasa. Untuk datang ke Toraja Anda bisa menggunakan bus atau pesawat terbang, pilihannya tentu saja terserah Anda. Ingin cepat yah naik pesawat, bila ingin berlama dan menikmati pemandangan alam yang tersaji sambil bersandar pada kursi duduk yang begitu empuk selama enam jam, pergunakanlah bus. Bus tujuan Toraja bukan sembarang bus. Bus di sana mirip dengan bus-bus wisata di Eropa.

Menurut teman saya, Toraja berasal dari kata “Tau Raya”, yang berarti orang besar, atau raja. Kata “Tana” semakna dengan kata tanah dalam bahasa Indonesia. Sampai hari ini pun, nama ini masih ditafsirkan sebagai “Tanah Para Raja” atau “Tanah Keturunan Kerajaan”. Teman saya juga bercerita kepada saya kalau kepercayaan itu berasal dari legenda atau mitos mengenai nenek moyang Toraja yang turun dari surga dengan menggunakan "Tangga dari Langit."

Namanya mitos atau legenda, boleh percaya boleh tidak. Kalau kita telusuri secara ilmiah, ada sebuah penelitian antropologi tentang asal usul orang Toraja. Hasil riset itu menyatakan bahwa populasi Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara suatu masyarakat adat dari Sulawesi Selatan dengan pendatang yang tiba dari Teluk Tongkin, Cina. Dimulai dengan mendaratnya imigran Indo-Cina di daerah pantai Enrekang, kemudian mereka menetap di sana. Wow, menarik untuk ditelusuri nih. 

Mungkin karena itu, nama Toraja katanya berasal dari suku Bugis Sidendereng. Mereka disebut orang-orang dari daerah “Ria ja”, yang diartikan orang-orang yang tinggal di negara tinggi atau pegunungan. Sebutan lain untuk Tana Toraja disematkan oleh suku Luwu yang berada di tenggara Sulawesi, mereka menyebutnya dengan “Ria jang”, atau orang-orang yang tinggal di barat. Akhirnya, penamaan yang diterima hingga sekarang adalah Toraja. 



Gua Tengkorak di Londa

Nah, setelah kamu tahu bagaimana sejarahnya orang Toraja dan nama Toraja, saya akan ulas secara ringkas mengenai obyek wisata Londa dan Kete Kesu.

Obyek wisata Londa berada di Desa Sandan Uai, secara administratif termasuk dalam wilayah kecamatan Sanggalai, sekitar tujuh kilometer dari Rantepao atau pusat kota. Di Londa, kamu dapat melihat kuburan kuno besar yang terbentuk secara alami. Di situs ini terdapat gua tua tempat di mana puluhan orang dikuburkan di dalamnya. Di dalam gua ini berserak ratusan tulang yang berasal dari daerah Tallulolo. Udara di dalam gua terasa sejuk dan kita bernafas seperti biasa saja. Saya sarankan, bila masuk kedalam gua ini hendaknya menggunakan jasa pemandu dan menyewa petromaks sebagai penerang. Kami berlima patungan untuk bisa menyewa pemandu dan petromaks. Karena biaya sewanya lumayan besar bagi kocek kami kalau bayar sendiri-sendiri. 

Di Londa, kamu juga dapat melihat kerbau gemuk besar terikat dengan warna kulit albino, biasa disebut tedong. Konon kerbau berwarna seperti itu, paling mahal harganya. Tedong adalah sebutan kerbau dalam bahasa Toraja. Orang Toraja mengenal berbagai jenis kerbau berdasarkan corak dan warna kulitnya. Kerbau putih dengan belang hitam disebut tedong saleko. Kalau kerbau hitam dengan belang putih disebut tedong bonga. Kerbau berwarna putih polos tanpa belang disebut tedong bulan. Sementara kerbau berwarna abu-abu seperti kebo bule, disebut tedong sambaoyang.

Rumah Tongkonan di Kete Kesu

Setelah puas foto-foto kuburan Gua Londa, kami melanjutkan kunjungan ke Kete Kesu. Lokasi wisata budaya dengan rumah adat yang ikonik ini menjadi tempat wisata paling popular di Tana Toraja. Pendapat itu telah saya buktikan bersama lima teman saya. Di obyek wisata ini, kamu akan terpesona melihat rumah Tongkonan dengan lumbung padinya. Hanya itu saja? Tentu tidak. Bila kamu masuki lebih dalam lagi, kamu akan menemukan batu megalit besar yang berada di tengah sawah. Kamu juga akan menemukan sebuah kuburan bangsawan di antara tebing dan tau-tau. 



Berbicara mengenai rumah Tongkonan, rumah adat ini mempunyai beberapa jenis. Keseluruhan bangunannya menggunakan kayu uru, Elmerrillia ovalis dandy sebutan latinnya. Kayu yang tahan lama dan sangat mahal harganya.  Kayu ini mudah di pahat atau diukir. Bila diperhatikan, rumah Tongkonan selalu dihiasi dengan ukiran gambar bermotif ayam jantan dan motif bersitan sinar matahari, menyerupai simbol ‘Aufklarung’, yakni suatu pergerakan intelektual abad ke-18 di Eropa Barat. Motif ayam jantan disebut pa’manuk londong yang mempunyai makna filosofis sebagai selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan. Sedangkan motif berkas sinar matahari disebut pa’barre alo yang bermakna filosofis sebagai energi untuk menegakkan keadilan. Menurut teman saya, ada beberapa macam jenis dan fungsi rumah tongkonan, seperti Tongkonan Pa’rapuan yang hanya ditinggali oleh satu keluarga dalam satu marga dan Tongkonan Kaparengngesan diperuntukkan kepada ketua adat saja. 



Selain motif, susunan vertikal tanduk kerbau yang terpasang pada tonggak kayu juga menjadi pemikat Tongkonan yang jumlahnya belasan. Belum saya temukan bacaan yang menjelaskan mengapa hewan kerbau bisa berada di Tana Toraja, sebuah wilayah yang terletak di dataran tinggi. Sependek pengetahuan saya, kerbau juga banyak dipelihara oleh masyarakat pinggiran Jakarta di tahun 80-an karena masih ada area persawahan. Pastinya, bagi orang Toraja kerbau menjadi penanda strata ekonomi dan kelas sosial. Daging hewan ini disajikan secara utama pada saat acara kematian. Konon, jumlah tanduk kerbau yang dipajang menunjukkan berapa kali pemilik rumah menggelar pesta adat dan mengindikasikan status sosial di masyarakat.

Ke'te Kesu juga terkenal karena patung-patungnya. Pematung di tempat ini begitu brilian selain terampil membuat kerajinan tangan seperti souvenir. Di tempat inilah kamu dapat membeli souvenir dengan harga yang terjangkau dan bisa ditawar pula. Tak jauh dari tempat parkir, Anda dapat singgah pada sebuah bangunan yang tertutup papan, di situ dapat anda intip bagaimana proses pembuatan peti kayu untuk jenasah orang Toraja.

Lalu tidakkah kamu bisa meluangkan waktu sehari saja untuk berwisata sejarah sekaligus mempelajari ragam budaya Indonesia saat sedang bertugas di Toraja?*