Apa itu Fortifikasi Pangan ?

Fortifikasi Pangan Kekurangan Gizi

Gizi merupakan zat yang penting untuk tubuh, terutama sekali bagi ibu hamil. Sayangnya, pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya zat gizi bagi tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun masih sangat minim.

Data Global Nutrition Report (GRN) 2015 dari PBB telah mencatat Indonesia termasuk Negara dengan masalah gizi yang serius. Bahkan dari data KemKes Riskesdas 2013 telah ditemukan sekitar 37,2% atau 9,0 juta balita yang bertubuh pendek atau “stunting”, yang tinggi badannya beberapa cm lebih rendah. Penyebabnya tidak lain karena balita mengalami kekurangan gizi sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun.
Keadaan ini tentu memprihatinkan. Benar bila Indonesia sekarang dalam keadaan darurat gizi karena kualitas hidup sebagian generasi yang akan datang tidaklah lagi dapat diandalkan. Apa yang pernah didengungkan oleh para pakar studi kependudukan tentang bonus demografi yang didapat dari pertambahan penduduk usia produktif 10-20 tahun mendatang bisa berbalik menjadi beban demografi karena apa yang diasumsikan sebagai generasi produktif itu telah tidak produktif akibat besarnya jumlah balita yang kurang gizi.

Tantangan yang dihadapi pada hari ini adalah bagaimana membongkar pengetahuan dan kesadaran pola hidup keluarga miskin yang selama ini tidak sehat. Keluarga miskin Indonesia cenderung membelanjakan sebagian besar penghasilannya untuk sumber makanan pokok berupa beras. Sisanya untuk keperluan lain non-pangan, sehingga hampir tidak tersisa untuk membeli lauk pauk, sayur dan buah. Padahal vitamin dan mineral semuanya terdapat pada lauk pauk, sayur mayor dan buah-buahan. Inilah penyebab mengapa keluarga miskin umumnya kekurangan vitamin dan mineral.

Sebenarnya pemerintah sudah sejak lama memperhatikan masalah kekurangan gizi ini. Karena sejak awal tahun 1990-an pemerintah telah mewajibkan garam dapur untuk masak mesti ditambah dengan zat yodium. Bahkan sejak tahun 2001, pemerintah telah mewajibkan pula kepada produsen tepung terigu yang sebagai bahan utama pembuat mie, roti dan aneka macam kue harus menambahkan zat besi dan 3 zat lainnya. Belum lama ini Menteri Perindustrian mewajibkan semua minyak goreng sawit mulai Maret 2016 ditambahkan dengan vitamin A.

Menurut Soekirman, seorang Guru Besar (Em) dari IPB Bogor merangkap Direktur Yayasan Kegizian untuk Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI), penambahan beberapa zat gizi pada pangan dinamakan dengan Fortifikasi. Tujuannya adalah untuk lebih meningkatkan nilai gizi pangan tertentu, untuk mencegah kekurangan gizi dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Termasuk disini adalah untuk tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun agar ketika dewasa bertubuh normal, tegap, pintar, aktif dan produktif.

Dalam menjawab tantangan kekurangan gizi dimuka, sejak tahun 2010 PBB telah melakukan gerakan percepatan perbaikan gizi global yang dikenal dengan “Scalling Up Nutrition (SUN)”. Di Indonesia gerakan SUN ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Yang menjadi titik focus gerakan ini adalah melindungi masa kritis 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK), sejak hari pertama kehamilan sampai anak usia 2 tahun. Dengan memusatkan konsentrasi pada perbaikan gizi ibu dan anak, terutama bagi masyarakat miskin. Sebab merekalah yang paling banyak menderita kurang gizi.

Ada beberapa cara untuk perbaikan gizi masyarakat yang saling mengisi. Salah satu cara, yang menurut Bank Dunia, paling “cost-effective” adalah dengan fortifikasi pangan. Yaitu dengan “menitipkan” atau memfortifikasi vitamin dan mineral tertentu, ke dalam makanan sehari-hari yang selalu ada di hampir semua rumah tangga, baik kaya maupun miskin, di kota dan di desa. Seperti disebutkan dimuka, makanan tersebut adalah garam, minyak goreng, tepung terigu, dan beras. Untuk itulah pemerintah sejak tahun 1994 sampai 2016 berturut-turut mewajibkan semua garam dapur, tepung terigu dan minyak goreng sawit difortifikasi yang tidak menambah beban ekonomi keluarga. Sedang fortifikasi beras di Indonesia masih pada tahap percobaan.

Fortifikasi pangan merupakan jawaban untuk pencegahan penyakit dan juga bagian dari upaya mengurangi kemiskinan.

Ditegaskan pula oleh Soekirman, bahwa apabila tidak dilakukan fortifikasi maka akan makin banyak anak dan ibu hamil dari keluarga miskin yang sering sakit. Makin banyaknya orang sakit akan membebani Negara yang harus ditanggung oleh dana JPKN. Menurut Bank Dunia, Negara akan kehilangan sebagian pendapatan nasionalnya. Sedangkan kelompok ekonom dunia lain yang tergabung dalam Copenhagen Consensus Center (2014), telah menghitung kehilangan tersebut. Misalnya, akibat anemi karena kurang zat besi, produktivitas yang hilang senilai 16,8 USD per orang per tahun. Sedangkan untuk fortifikasi, per USD fortifikasi zat yodium (garam), vitamin A (minyak goreng), dan zat besi (tepung terigu),memberikan keuntungan berturut-turut 28, 47 dan 84 USD. Investasi dalam berbagai program gizi yang efektif telah dibuktikan dengan mengurangi jumlah anak stunting. Kembali menurut para ekonom diatas, tiap penurunan 45% jumlah anak stunting diberbagai Negara menghasilkan keuntungan antara 3,6 USD sampai 48 USD (Indonesia). Keuntungan di Indonesia tinggi karena jumlah anak stunting termasuk 17 terbanyak didunia.

Dalam Global Nutrition Report 2015, dinyatakan bahwa dari 17 sasaran SDGs, 8 diantaranya terkait erat dengan gizi. Apabila dalam MDGs sasaran gizi tersembunyi, dalam SDGs sasaran gizi, khususnya mengurangi stunting, menjadi fokus dari 8 sasaran SDGs. Menurut bapak Wakil Presiden di sidang PBB New York beberapa minggu lalu, ke 17 sasaran SDGs sudah tercakup dalam Nawa Cita pembangunan Indonesia. Berarti perbaikan gizi akan merupakan bagian penting dari pelaksanaan Nawa Cita.